Makna Berserah Diri

Hari itu rasanya kepalaku begitu pusing. Hidungku penuh dan telingaku terasa aneh. Kucoba berbagai cara tapi pusing itu tidak hilang. Aku coba menenggak Air hangat tapi rasa nyamannya tak bertahan lama. Kumiringkan kepalaku agar telingaku kembali normal tapi percuma.

Aku akhirnya mencoba tertidur di rusng admin. Mengeluh tentang pusingku sambil menelungkupkan kepala dibalik bantal. Berharap sakit ini hilang.

Aku kesal karena pusingku tak mereda. Aku hanya ingin cepat-cepat jam pulang agar bisa tiduran di rumah. Tapi ini baru jam 10 pagi.

Keluhanku semakin panjang. Rasanya 5 menit berlalu sangaaaat lama. Hingga suara adzan dzuhur mengisi langit. Biasanya shalat membantu menenangkanku, tapi aku tak bisa shalat karena sedang berhalangan. Kulihat handphone ku, mencoba mengalihkan perhatian dari keluh kesahku sendiri. Sampai aku memencet icon Al-Quran dan membaca artinya.

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Aku bangkit dan berdiri. Sadar bahwa bukan keluhan yang mesti aku lakukan. Semua hal yang terjadi padaku adalah atas izin Allah dan aku tidak ingin menjadi korban lagi. Aku lupa punya janji pada Allah untuk memaksimalkan hidupku. Sejak saat itu, aku kembali fokus meski pusing ini menemaniku.

Sakitku semakin memudar dan kini aku benar-benar sangat bersyukur. Seakan-akan Allah menungguku untuk sadar bahwa Allah ada. Seakan-akan sedari tadi Allah melambaikan tangan, menepukku dan berteriak padaku agar aku ingat pada-Nya.

Dan ketika aku sudah sadar dan sudah ingat. Aku jadi merasa tentram karena tahu Dia ada disisiku.

Aku pun belajar,

Ketika masalah menimpa,

Ketika ada sesuatu yang tidak sesuai harapan,

Ketika sesuatu berada di luar kontrol,

ketika banyak pikiran dan masalah,

ketika sedang senang dan bahagia,

Ingatlah Allah.

Lalu sadarlah bahwa ini semua dari-Nya. Kita tak sendiri. Ada Allah yang selalu memberikan support pada kita. Ada Allah yang tahu apa yang terbaik untuk kita. Dia yang menentukan bagaimana akhir kita. Dia yang tahu bagaimana membina kita dengan hasil yang Dia tentukan.

Karena sejatinya hasil bukan dari kerja keras kita ataupun kelalaian kita. Hasil adalah dari Allah. Agar kita belajar bahwa dengan bekerja keras, Allah bisa memberikan hasil yang maksimal. Sebaliknya, dengan kelalaian Allah memberikan hasil yang buruk.

Segalanya dari Allah dan berakhir pada Allah.

Bukankah itu makna berserah diri?

Ketika tak ada lagi yang harus kau takutkan. Karena hasil itu terserah pada Allah dan Allah tak pernah menzalimi hamba-hamba-Nya. Kita tinggal berniat secara ikhlas dan berikhtiar secara penuh. Tanpa takut apapun. Kecuali takut pada-Nya jika Dia tidak Ridha.

Dengan berserah diri, kita bisa pergi sejauh-jauhnya dan melakukan hal sebaik-baiknya. Karena merasa ada Allah.

Berserah diri pada Allah mengubah masalah dan penderitaan menjadi makna cinta dari Allah. Allah mencintai kita dan ingin kita menjadi manusia yang lebih baik lagi. Menjadi manusia yang bisa menyelesaikan masalah demi masalah kehidupan.

Berserah diri pada Allah mengubah makna bahagia menjadi makna syukur. Karena sejatinya meskipun dalam keadaan sesusah apapun, syukur tetap ada. Setidaknya rasa syukur karena telah diberikan nafas untuk hidup. Rasa syukur terhadap rasa syukur itu sendiri. Rasa syukur atas syukur kita terhadap rasa syukur. Rasa syukur akan diri kita yang mensyukuri rasa syukur atas syukur kita terhadap rasa syukur. dan..

ah sudahlah

Rasa syukur takkan pernah habis

Dan itu dimulai dari diri yang berserah diri.

Dimulai dari keimanan.

Analogi surat Al-Ashr

Ustadz Nouman Ali Khan memberikan sebuah analogi terhadap surat Al-Ashr. Analogi dimana semua manusia pada dasarnya sedang tenggelam dalam kerugian. Dengan keadaan tak sadarkan diri.

“Demi massa. Sesungguhnya manusia itu benar – banar berada dalam kerugian”

Semua manusia sedang tenggelam dalam lautan kerugian dan tak sadar akan hal itu. Aku sedang tenggelam. Terkadang, aku pasrah akan keadaan itu. Memang lebih nyaman untuk tidur di dalam lautan tanpa sadar akan kerugian-kerugian yang aku dapatkan. Menjadi buih yang diombang-ambing gelombang.

Jika ingin keluar dari lautan kerugian itu, hal yang pertama kali mesti kulakukan adalah menyadari bahwa sesungguhnya aku dalam keadaan tenggelam. Meyakini bahwa pada dasarnya, kita semua rugi kecuali kita yakin bahwa kita sedang tenggelam. Jika kita sudah yakin bahwa kita sedang tenggelam. Yakin akan ayat Allah di Surat Al-Ashr. Maka kita akan berjuang sekuat tenaga agar kita tidak semakin tenggelam dalam kerugian.

Karena tak ada yang bisa kulakukan selain bergerak agar tidak semakin tenggelam dalam kerugian. Dengan bergerak, aku pun tahu ada gerakan yang membuatku naik keatas. Sebut saja gerakan ini sebagai “amal shaleh”. Ada juga gerakan yang bahkan membuatku tenggelam semakin jauh. Membuatku kembali tak sadarkan diri lagi.

Tapi jika aku beriman, aku akan kembali percaya bahwa aku harus bergerak! aku tak boleh tenggelam lagi. Aku harus melakukan “amal shaleh”.

“Demi massa. Sesungguhnya manusia itu benar – banar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh”

Itulah perumpamaan Iman dan amal shaleh.

Jika kita beriman, kita akan yakin bahwa kita sebenernya sedang tenggelam dalam kerugian. Jika kita beriman, kita akan berusaha sekuat tenaga agar kita tak semakin tenggelam dan melakukan amal shaleh.

Tapi terkadang amal shaleh yang kita lakukan menjadi semakin berat. Lautan begitu menekan kita sehingga kita malas bergerak. Sehingga iman kita menurun dan kita kembali tenggelam.

Atau tiba-tiba ada orang lain yang memegang kakiku, menahanku untuk berenang keatas. Parahnya lagi, dia pun sedang dalam tenggelam dan tak sadarkan diri!

Yang bisa aku lakukan adalah membangunkannya dan menyadarkannya. Membuat dia sadar dan yakin bahwa dirinya pun sedang tenggelam dan harus berbuat sesuatu. Menyadarkan dia untuk sama-sama berbuat amal shaleh.

Hingga nanti kita akan bersama-sama bergerak dalam amal shaleh. Dalam keadaan sadar. Berjuang untuk tidak tenggelam dan berenang dengan bebas. Ketika amal shaleh ini terlalu berat untuk dilakukan, kita akan sama-sama saling menyadarkan diri satu sama lain. Kita sama-sama saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Agar kita satu sama lain tidak tenggelam dalam kerugian.

 

“Demi massa. Sesungguhnya manusia itu benar – banar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”

 

Itulah konsekuensi Iman.

Iman membuatku sadar bahwa pada dasarnya, aku sedang tenggelam dalam kerugian. Jika tak ingin tenggelam dalam lautan kerugian, tak ada yang bisa kulakukan selain bergerak dan melakukan amal shaleh. Tak hanya sendirian. Tapi bersama-sama. Mencari orang-orang yang bisa membuat kita berenang ke atas. Membangunkan dan menyadarkan orang-orang di sekeliling kita agar kita bisa sama-sama sadar dari kerugian ini.

Menuju Ridha-Nya.

Motivasi Terbesar

Motivasi terbesar ku adalah ketika mengingat hari itu

Hari dimana semua hal menjadi sangat CHAOS. Ketika semua orang menjadi ketakutan, galau, bingung, bersalah, takut, sesal. Hari yang benar-benar sangat hectic. Hari dimana semua orang menyesal. Baik orang jahat yang meneysal karena semua kejahatannya. Ataupun orang baik yang amalnya tak cukup. Hari dimana kita tidak bisa lari dari pertanggung jawaban itu. Kita ga bisa cari-cari alasan lagi. Kita ga bisa kembali ke masa2 duniawi.

Saat itu, yang ada hanyalah ratusan milyar manusia, menunggu hasil rapotnya di dunia. Apakah amal baik mereka lebih banyak ataukah amal buruknya? Apakah mereka diampuni atau tidak. Apakah mereka masuk surga atau tidak. Apakah mereka diridhai atau tidak.

Ketika semua orang mencari celah sekecil apapun untuk bisa masuk surga. Mencari kesalahan yang bisa dihilangkan. Mencoba bernegosiasi dengan Allah

        “Bisa kah kami kembali ke dunia? Kami bakal beramal shaleh! Serius! Andai saja kami bisa kembali ke dunia”

Ketika orang mulai menyalahkan satu sama lain

       “Aku sesat karena ngikutin kamu, tau!!”

      “Siapa suruh ngikutin aku!”

Ketika semua orang mencari orang lain yang bisa menolong mereka. Mencari orang yang bisa memberikan syafaat. Tapi kecuali Nabi Muhammad S.A.W, hampir semua Nabi tidak bisa memberikan syafaat nya. Dari Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, hingga Nabi Isa, alaihis salam.

Hari itu adalah hari yang sangat berat dan butuh bekal banyak saat di dunia.

Hari dimana kita bisa merasakan panas neraka di permukaan kulit kita dan melihat orang2 diseret kesana. Juga melihat orang2 berjatuhan di jembatan shirat.

Hari dimana kita melihat teman-teman baik kita sudah berada di surga. Teman-teman baik yang dahulu bersama kita, teman-teman yang sudah mengajarkan kita hal-hal baik. Tapi pada nyatanya, mereka sama sekali ga bisa menolong kita di akhir nanti.

Terbayang, wajah sahabat baikku, yang kupikir akan selalu bersama sampai ke surga, akan berkata

“Padahal aku udah sering memperingatkanmu, Syif”

Begitu katanya dan dia menghilang ke balik surga yang indah.

Atau ketika keluarga kita menyalahkan kita karena kita tidak menjadi teladan yang baik. Ketika kita berpikir sudah beramal sebaik-baiknya di dunia padahal pada akhirnya kita berada di golongan Abdullah bin Ubay bin Salul. Golongan orang munafik, bukannya berada di golongan yang beruntung.

Bukankah itu bisa menjadi akhir mu? Bukankah itu bisa menjadi masa depanmu?

Apapun akhir kita,

semua itu sangat mungkin terjadi.

Hari perhitungan akan datang

dan semua manusia akan mengalami hari itu.

mau atau tidak

 

Dan semua orang akan menyesal

 

Kamu mau ada di golongan mana?

 

 

Epilog : Sebuah Awal

Sebuah epilog dari Kisahku Mencari Hidup yang dimulai sejak

HTTPS://SYIFBUNG.WORDPRESS.COM/2018/08/08/PROLOG/

Maka sekarang, semua perjalananku dari awal Ramadhan hingga Siaware selesai seperti membentuk sebuah kisah. Membentuk sebuah perjalanan dalam menjadi diri yang lebih utuh. Menjadi ‘Abd yang sebenar-benarnya hamba.

Tapi ini bukan garis finish. Inilah garis start yang sesungguhnya. 0 km hidupku dimulai dari saat ini.

Dan kini ketakutan terbesar ku adalah tidak istiqamah dalam perubahan ini.

Oleh sebab itu,dengan ini aku memohon pada penguasa langit dan bumi dan hati ini.

Dia Yang berkehendak menyesatkanku atau memberikanku petunjuk.

Dan semoga dia berkenan untuk membuatku tetap istiqamah menjadi diri yang luar biasa.

Karena hidup ini, pada dasarnya adalah anugerah dari Allah. Bukti bahwa Allah menghargai ku, mencintai ku.

Dan kini,

Aku akan belajar bagaimana mencintai-Nya.

Bagaimana membentuk sudut pandang baru, bahwa Dia-lah yang memberiku dua pilihan : ingin jadi korban atau orang yang bertanggung jawab.

Bagaimana aku mestinya membangun berbagai kepercayaan sesuai aturan dari-Nya dan bereksperimen atas kepercayaan itu agar terserap dalam hati.

Bagaimana aku mengontrol ketakutanku atas penilaian orang lain. Juga menghilangkan penilaian burukku terhadap-Nya,

Karena pada dasarnya Dia berdasarkan prasangka hamba-Nya.

Dia Maha Pengasih Maha Penyayang. Yang Memberiku hidup

Hingga suatu saat nanti,

Aku akan kembali pada-Nya

Dan akan kuperlihatkan pada-Nya dengan bangga

Bahwa inilah hamba-Mu yang bersyukur, inilah hamba-Mu yang maksimal, lihatlah bahwa aku menghargai semua yang Kau berikan padaku. Bahwa aku telah maksimal menggunakan semua hal yang kau pinjamkan pada-Ku.

Hingga aku bertemu dengan-Mu dalam keadaan Ridha

Dan Kau pun Ridha denganku

Inilah jalan hidupku,

Saksikanlah bahwa aku adalah seorang muslim……

3.8 Tentang Mimpi

BAGIAN 3 CHAPTER 8 DARI KISAHKU MENCARI HIDUP YANG DIMULAI SEJAK
HTTPS://SYIFBUNG.WORDPRESS.COM/2018/08/08/PROLOG/

Tak pernah terbayangkan, mimpi ku yang sudah terpendam lama begitu dalam ternyata keluar begitu saja dari lautan pesimis dan rendah diri.

Mimpi besar yang kumiliki sejak dulu.

Mimpi membangun sekolah gratis di sebuah pedalaman yang membutuhkan.

Mimpi itu begitu nyata, berada di kelopak mata ketika kupejamkan mataku

Bilik-bilik sederhana dengan papan tulis didalamnya

Anak-anak yang belajar dan bermain di dalamnya.

Aku yang sedang berbincang dengan kepala sekolah sambil memegang gambar denah rencana sekolah.

Aku ingat bahwa aku memiliki mimpi itu. Mimpi untuk memiliki bekal jariyah kelak. Mimpi untuk meninggalkan jejak di dunia agar bisa menolong ku di akhirat.

Mimpi untuk menebarkan ilmu yang bermanfaat. Menjadi orang yang menginspirasi lewat karya.

Setelah pulang siaware, aku menjadi penuh dengan mimpi-mimpi tinggi yang ingin kukejar. Aku menjadi sibuk mengejar mimpi. Ada banyak hal yang ingin ku lakukan. Ada banyak sikap yang ingin kuperbaiki.

3.7 Tentang Syukur

BAGIAN 3 CHAPTER 7 DARI KISAHKU MENCARI HIDUP YANG DIMULAI SEJAK
HTTPS://SYIFBUNG.WORDPRESS.COM/2018/08/08/PROLOG/

 

Aku selalu merasa bahwa ujian hidupku adalah tentang rasa syukur. Karena aku merasa kurang bersyukur dengan keadaan ku ini. Keadaan yang menurutku kacau. Padahal ada banyak yang bisa disyukuri.

Tapi tak pernah kurasakan rasa syukur senyata ini, sebelum datang siaware, rasa syukur itu begitu nyata dan dekat. Membuatku bersujud dalam tangisan syukur.

Syukur atas hidup yang diberikan oleh-Nya.

Kutatap telapak tanganku dan kuperhatikan setiap guratannya yang tak sama. Kugerakkan sendi-sendi jariku hingga aku merasakan dia bergerak. Aku sentuh perlahan permukaan kulitku. Dan kurasakan syukur di tiap sentuhannya.

Aku bersyukur aku hidup.

Aku lupa karena kupikir Allah tak terlalu menyayangiku. Tapi, datang di siaware dan merasakaj setiap prosesnya, membuat rasa syukur itu tumpah ruah. Karena kehendak Allah aku disini.

Untuk mensyukuri hidup,

Maka aku siap untuk menghargai diriku. Karena aku berharga, hidupku yang maksimal adalah bukti rasa syukurku kepada-Nya.

Alhamdulillahirabbil alamin

3.5 Menjadi Pendengar

BAGIAN 3 CHAPTER 5 DARI KISAHKU MENCARI HIDUP YANG DIMULAI SEJAK
HTTPS://SYIFBUNG.WORDPRESS.COM/2018/08/08/PROLOG/

 

“Yang aku rasakan, kamu tuh kalau mendengar ga pernah pake rasa ya” Kak Ana menatap lurus menembus mataku. Menusuk dengan tatapan sadisnya.

Dahulu, aku selalu takut menghadapi tatapan itu. Tapi kini aku coba untuk menyerap perkataan Kak Ana.

“iya, kamu tuh terlalu banyak mikir pake otak terus. Apa-apa harus dipikirin” Kak Ana melanjutkan sembari mengetuk2 pelipisnya. Mengarahkan pada otak yang berada di baliknya.”Ketika ngomong atau ketika mendengar orang ngomong, kamu selaluuu saja berpikir. Bahkan setelah ngedengerin orang ngomong, kamu pasti ga terlalu ngeh kan apa yang dia omongin? karena kamu terlalu sibuk berpikir dan ga pernah benar-benar mendengarkan. Kamu ga pernah mendengar pake hati”

Kini Kak Ana mengarahkan tangannya ke arah dadanya seakan menunjuk hati yang ada disana.

Setelah itu aku tertegun, dan (lagi-lagi) berpikir

Ah ini yang dinamakan ketidakpekaan

Kak Ana bisa mendefinisikannya dengan sesuatu yang lebih bisa kupahami. Sesuatu yang lebih nyata dibanding chapter ku sebelumnya.

Daridulu aku merasa gagal sebagai manusia karena tidak bisa mengerti orang dengan baik. Kupikir itu karena aku jarang memakai otakku untuk berpikir, untuk memahami orang lain. Aku selalu menyalahkan diriku sendiri untuk itu.

Padahal, sebaliknya, aku justru tidak peka karena kebanyakan mikir.

Karena memahami orang lain bukan dengan akal. Memahami orang lain itu lewat rasa. Mendengar dan berbicara pun memakai rasa. Kamu tidak perlu mengurutkan panjang lebar apa yang ingin kamu ungkapkan — yang biasanya selau kulakukan– Cukup ungkapkan apa yang kamu rasakan.

Dan mendengar dengan rasa itu berarti memberikan perhatian penuh pada ucapan lawan bicara. Tatap matanya, perhatikan setiap makna yang keluar dari mulutnya. Tahanlah untuk tidak menyela di tengah-tengah pembicaraan.

Jadilah pendengar yang baik maka kau akan bisa menjadi orang yang peka.

3.3 Penilaian orang lain

BAGIAN 3 CHAPTER 3 DARI KISAHKU MENCARI HIDUP YANG DIMULAI SEJAK
HTTPS://SYIFBUNG.WORDPRESS.COM/2018/08/08/PROLOG/

 

Suatu hari, aku pernah bertanya kepada beberapa orang, penilaian mereka terhadap diriku.

“Sebenernya aku ini orang introvert atau exrovert sih?”

Jujur saja, aku bingung memilih diantara kedua istilah ini. Di satu sisi, aku merasa bahwa aku adalah seorang introvert yang lebih suka memendam segala hal sendiri. Di satu sisi, aku merasa bahwa aku adalah seorang ekstrovert yang juga senang bisa ngobrol dengan orang lain. Berbicara dengan orang dan mengambil pelajaran dari sana.

Aku pikir, aku harus tahu apakah aku ini cenderung introvert atau ekstrovert. Lalu aku bertanya pada dua orang sahabat.

“Kayanya kamu introvert deh, Syif” Ujar seorang sahabat yang sangat ektrovert

“Introvert apaan! Kamu tuh ekstrovert tau syif! coba deh kamu baca artikel psikologi ini” Ujar seorang sahabat yang sangat introvert.

 

Jadi, yang bener yang mana ya?

Apakah penilaian sahabat ekstrovert ku yang benar?

Atau penilaian sahabat introvert ku yang benar?

 

Setelah Siaware30 aku menemukan jawaban itu.

Dan jawabannya adalah

Tidak ada satupun  penilaian yang benar dan tidak ada satupun penilaian yang salah. Penilaian itu selalu subjektif. Tergantung latar belakang orang tersebut. Tentu saja aku lebih introvert dibanding sahabatku yang ekstrovert. Dan tentu saja aku lebih ekstrovert dibanding sahabatku yang introvert. Tidak ada penilaian yang sepenuhnya benar.

Penilaian orang lain tidak bisa menjadi patokan atas siapa dirimu sebenarnya. Karena setiap orang memiliki sudut pandang berbeda memandang dunia. Setiap orang memiliki sudut pandang berbeda dalam melihatmu. Kau yang lebih tau tentang dirimu sendiri. Penilaian yang kau pilih akan menentukan tindakan apa yang akan kau lakukan dan tindakan apa yang paling efektif untukmu.

Kamu hanya tinggal memilih, apa penilaianmu terhadap dirimu sendiri.

Apakah kamu introvert atau ekstrovert?

Apakah kamu cantik atau jelek?

Apakah kamu dibenci atau tidak?

Apakah kamu dihargai atau tidak?

 

Apapun yang kau pilih, ini sangat berpengaruh kepada tindakanmu. Jikau kau memilih bahwa kau dinilai tidak pantas. Maka kau akan merasa tidak pantas dan tidak akan maksimal. Jika kau memilih bahwa kau dinilai tidak berharga. Maka kau akan menjadi orang yang merendahkan dirimu sendiri. Jika kau memilih bahwa kau dicintai. Maka kau akan maksimal dan menghargai cinta yang telah kau dapat.

Daridulu, inilah jawaban yang aku cari. Karena aku selalu takut akan penilaian orang lain padaku. Aku takut dinilai tidak peka dan malah dimusuhin. Padahal penilaian benci inii tergantung pada sudut pandang orang yang mengatakannya. Aku dari dulu selalu yakin bahwa penilaian orang pasti benar.

Padahal penilaian orang terhadapku pada dasarnya bersifat netral. Diriku sendiri lah yang membuatnya bermuatan negatif atau positif. Jika aku dinilai baik, maka aku akan bersyukur dan mempertahankannya. Jika aku dinilai buruk, maka aku akan menilai bahwa aku hanya kurang maksimal. Yang perlu aku lakukan adalah mengerjakan apa yang aku kerjakan agar aku lebih baik.

3.2 Ketakutanku Selama Ini

BAGIAN 3 CHAPTER 2 DARI KISAHKU MENCARI HIDUP YANG DIMULAI SEJAK
HTTPS://SYIFBUNG.WORDPRESS.COM/2018/08/08/PROLOG/

 

“Rasanya enak deh, Syif kalau kamu udah ga peduli sama penilaian orang lain. Aku tuh berubah sejak aku udah ga peduliin penilaian orang lain”

 

“Kamu tuh terlalu banyak mikir yang engga-engga. Penilaian orang lain itu jangan kamu ambil ke hati”

 

Seriiiiiing bangeett orang berbicara begitu kepadaku dan tidak pernah aku gubris. kenapa?

Karena ada satu kepercayaan kuat di dalam diriku bahwa

Mempedulikan penilaian orang terhadap diri sendiri adalah sebuah keharusan agar aku menjadi orang yang peka

Lagipula orang lain pasti lebih bener dibanding aku

Kepercayaan ini mendarah daging menjadi bisul yang sangat sulit disembuhkan. dan ketika mau dioprek malah membuka luka lama.

Karena aku ingin menjadi orang yang peka, aku harus aware dong sama orang lain. Aku harus bisa tahu apa yang orang lain pikirkan, terutama apa yang orang lain pikirkan tentangku. Dengan begitu, aku bisa lebih peka. Oleh sebab itu, aku selaluuuuuuu memperhatikan apa yang kira-kira orang pikirkan tentang ku.

Aku harus jadi orang yang peka dan peduli.

Aku sudah ga peduli sama diri aku sendiri.

Yang penting orang seneng dengan tindakanku, aku ga peduli aku tersiksa apa engga.

Siksaan yang sesungguhnya bukan ini, siksaan yang sesungguhnya adalah ketika kau dibenci oleh orang lain karena ketidakpekaanmu. Ketika orang yang kau sayangi menjauh, mendelik dengan tatapan kejam, karena kau tidak peduli dan tidak peka padanya. Atau ketika orang lain tersiksa karena ketidakpekaanmu.

Aku takut dibenci

Aku takut menjadi orang yang tidak bisa peka pada orang lain,

aku harus peka

aku harus tahu apa yang orang lain pikirkan

 

 

Tapi sejak Siaware 30,

aku sadar bahwa

sungguh suatu kesalahan besar aku mengartikan kepekaan sedangkal itu.

Bagian 3. SIAWARE : Berkah Ramadhan Kedua

Bagian 3 dari kisahku mencari hidup yang dimulai sejak
https://syifbung.wordpress.com/2018/08/08/prolog/

 

Training Siaware ini sudah terjadi turun temurun selama 15 tahun. Cerita awalnya sih dari para alumni ITB yang mau mengadakan training bagi mahasiswa yang sebentar lagi lulus dan ga punya arah mau kemana. Siaware menawarkan pesertanya untuk berlatih lebih aware dengan diri sendiri dan apa yang terjadi di dalam diri. Sehingga kita bisa menentukan sikap kita ke depan.

Bagiku, Siaware adalah salah satu jawaban dari pertanyaan besarku sebelum ramadhan, yaitu mencari tujuan hidup. Oleh sebab itu aku tak ragu menjadi bagian dari training ini, Self Insight Awareness Training angkatan 30.

Jika di bagian Ramadhan kemarin bercerita tentang kenyataan akan akhirat,

Maka di bagian Siaware ini bercerita tentang kesadaran akan menghadapi dunia.

Jika di bagian Ramadhan kemarin belajar tentang iman,
Maka di bagian Siaware ini belajar tentang amal.

Jika di bagian Ramadhan kemarin merupakan sarana memperbaiki hubunganku dengan-Nya

Maka si bagian Siaware ini merupakan sarana memperbaiki hubungan dengan diri sendiri. Juga orang lain

Dua kejadian besar ini, Ramadhan maupun Siaware, bagaikan puzzle-puzzle takdir yang membuatku semakin utuh.

Hingga sampai pada titik aku memiliki tujuan hidup yang ingin aku capai. Yang begitu nyata di dalam kepala
sehingga memunculkan motivasi hidupku.